18/04/2013

Pelajaran dari Pendakian Pertama


Pengalaman pertama memang selalu berkesan. Entah hari pertama masuk SMA, hari pertama di tempat kerja, pertama kali dapat pekerjaan, atau bahkan pertama kali jatuh cinta haha. Nah, ini pengalaman first summit gue: Gn. Pangrango 3.019 mdpl. Perjalanan menuju kesana akan gue ceritakan, tapi kali ini gue pengen ngeshare pelajaran hidup yang gue dapat :)

Selama perjalanan di sana setiap kita ketemu pendaki lain, pasti selalu saling sapa. Ketika kita udah kecapekan selama perjalanan naik dan ketemu pendaki yang turun, pasti mereka selalu semangatin kita. "Udah deket kok, bentar lagi sampe. Semangat terus!" Padahal mah, masih jauh hehe. Kenapa coba mereka bilang udah deket? Yaa, itu kan jadi sugesti positif. Ketika kita ngerasa udah dekat dengan tujuan kita, pasti kita makin semangat supaya tujuan itu cepat tercapai. Sedangkan kalau kita ngerasa masih jauh, malah nge-down­ dan udah keburu males untuk ngelanjutin.

Ketika baru sampai di Mandalawangi, kita salaman sama pendaki lain yang udah duluan disana dan mereka nyelamatin kita karena udah berhasil sampai sana. Pokoknya, kebersamaan di gunung itu nggak ternilai banget. Udah susah banget pasti untuk menemukan kebersamaan yang sebegitu eratnya di kota-kota besar seperti sekarang ini. Orang-orang yang sebelumnya nggak pernah kenal pun rasanya jadi akrab.

Di rumah, air minum melimpah banget. Kita minum, yaa minum aja biasa gitu. Tapi ketika disana, minum air putih aja rasanya nikmat banget. Apalagi minum dari mata airnya langsung, bener-bener segar. Air mineral botolan yang katanya berasal dari sumber mata air gunung blablabla yang telah diuji secara klinis gitu-gitu aja kalah deh. Intinya, yang kita punya di rumah dan kita anggap biasa aja, ketika di sana jadi berharga banget. Mungkin karena di sana, kita cuma punya segitu-gitunya aja, jadi rasanya hal itu istimewa. Ngerti, kan maksudnya? hehe.

Ketika sampai puncak, semua sakit di badan rasanya ilang semua. Baju yang basah karena keringet dan air hujan, pundak yang sakit karena bawa beban carrier yang cukup berat, dengkul dan betis yang kram karena jalan jauh, dan tangan yang mati rasa karena kedinginan udah nggak terasa lagi. Tapi yang paling penting, beban pikiran yang udah pesimis nggak kuat sampe atas, mood yang udah jelek, semua ilang. Digantikan sama rasa haru yang memenuhi dada, rasa bersyukur yang teramat-sangat. Bangga karena berhasil sampai puncak, tapi juga merasa kecil karena kita nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan keagungan Tuhan yang sebegitu mempesonanya. Subhanallah... :)



MANDALAWANGI – PANGRANGO

Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang2mu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu

walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku

aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua

“hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya “tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
‘terimalah dan hadapilah

dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu

aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup

Jakarta 19-7-1966









"Why did you want to climb Mount Everest?" This question was asked of George Leigh Mallory, who was with both expeditions toward the summit of the world’s highest mountain, in 1921 and 1922, and who is now in New York. He plans to go again in 1924, and he gave as the reason for persisting in these repeated attempts to reach the top, "Because it’s there."

Mandalawangi di pagi hari (15-04-13)